Belajar Membaca dan Mendengar Firman Tuhan

Viewed : 69 views

Berapa banyak dari kita yang kerap membaca Firman Tuhan tiap hari? Diantara kesibukan dari pekerjaan di kantor dan di rumah, ditambah dengan kebutuhan akan me time dan berleha-leha, sudah dapat diduga bahwa hal ini akan menyisakan sedikit waktu untuk belajar membaca dengan teratur dan konsisten Firman Tuhan yang tetulis di Alkitab. Dan biasanya yang sering terjadi waktu yang tersisa sedikit itu akan dipakai untuk hal lain yang lebih menyenangkan, seperti menonton TV atau tidur.

Ada kisah yang dapat menggambarkan mengapa kita perlu untuk belajar membaca dan mendengar  Firman Tuhan setiap hari, dikisahkan di suatu peristiwa meletusnya Gunung Merapi di tahun 1994, ada 2 peristiwa menarik yang akan diulas.

Dalam peristiwa pertama, ada sekelompok petani yang sedang menggarap sawah, mereka telah tinggal lama di daerah tersebut dan sudah mengenal kebiasaan dan fenomena yang terjadi di desa tersebut. Suatu saat, mereka terhenti dari pekerjaan yang mereka lakukan, karena dikejutkan oleh terbangnya segerombolan burung meninggalkan Gunung Merapi yang terletak dekat dengan desa mereka.
Meraka mengetahui dan mengenal fenomena tersebut, bahwa akan terjadi dengan gunung tersebut. Kemudian mereka memutuskan untuk pulang, kecuali 1 orang yg bersikukuh dengan pemikiran “Ah… Belanda masih jauh” dan satu orang petani tersebut menolak ajakan teman-teman petani lainnya untuk dan tetap bekerja. Kurang lebih 1 jam kemudian awan panas turun dan matilah petani tersebut seketika.

Dalam peristiwa ke-dua, seorang guru di sebuah sekolah dasar yang sedang mengajar, tertegun sejenak memperhatikan sekawanan burung yang terbang meninggalkan Gunung Merapi, yang terletak dekat dengan sekolah tempat ia mengajar. Guru ini telah mengenal tanda-tanda akan peristiwa in, maka ia meminta anak-anak didiknya pulang. Namun untuk menghindari adanya kehebohan dan kepanikan guru tersebut tidak mengatakan mengenai dugaan bencana yang akan segera melanda desa mereka, guru tersebut hanya mengatakan bahwa pelajaran telah selesai dan anak-anak diminta untuk langsung menuju ke rumah mereka masing-masing. Tak lama kemudian, seperti yang telah diduga oleh guru tersebut, sekolah itu hancur oleh awan panas yang menerjang dari letusan Gunung Merapi.




Belajar membaca dan mengerti dari dua peristiwa di atas bahwa petani dan guru bertindak atas pengetahuan dan pengertian yang didapat dari keadaan lingkungan mereka tinggal. Mereka bertindak untuk pergi ke rumah mereka atau ke tempat yang lebih aman atas pengetahuan dan pengertian itu.

Tuhan mengajak kita untuk mendengar dan mengerti akan firman-Nya seperti yang tertulis di Nehemia 8:8-12, Ezra, seorang ahli kitab, yang membacakan kitab Taurat Musa di depan banyak orang.

Ayat 3 : (8-4) Ia membacakan beberapa bagian dari pada kitab itu di halaman di depan pintu gerbang Air dari pagi sampai tengah hari di hadapan laki-laki dan perempuan dan semua orang yang dapat mengerti. Dengan penuh perhatian seluruh umat mendengarkan pembacaan kitab Taurat itu.

Ketika mereka mendengar dan mengerti dari kitab suci yang dibacakan kemudian mereka menangis karena respon mereka terhadap apa yang telah mereka dengar, namun menangis saja tidak cukup,

Melalui nas yg dibacakan Yesus di Nasaret dalam Lukas 4:16-21,
“Roh Tuhan ada pada Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin dan Ia telah mengutus Aku.”

Ketika kita membaca dan mendengar yang Yesus katakan dalam nas diatas, Yesus mengharapkan ada perubahan dari kita.

Saat teduh kerap dilakukan dalam hubungan kita dengan Allah, namun bukan saat teduh yang diinginkan Allah dalam perubahan yang diharapkan-Nya. Saat teduh hanya merupakan sarana komunikasi untuk membangun relasi dengan Allah. Dengan saat teduh kita makin mengenal Allah dan kita makin tahu isi hati Tuhan. Setelah mengetahui hal tersebut, maka akan ada dampak dalam kehidupan kita sebagai manusia yang telah mengenal Allah.

Ada sebuah contoh mengenai pesan yang dimaksudkan diatas, dalam sebuah relasi. Contoh ini terkait dalam sebuah pernikahan yang telah dilewati 18 tahun oleh Jen dan Ben, dan rumah tangga yang mereka bina tersebut dikenal akan keharmonisannya di mata teman dan kerabat mereka. Pernikahan yang langgeng tanpa adanya penyelewengan, Jen adalah istri yang manis, ia selalu menyiapkan pakaian untuk suaminya sebelum berangkat kerja, bahkan ia selalu membawakan bekal makan siang untuk suaminya yang bekerja.



Ben pun demikian, ia adalah seorang suami yang romantis, ia selalu memuji semua yang dilakukan istrinya untuk dirinya, dan selalu berkata I love u honey…
Semuanya terlihat indah, namun suatu ketika teman dan kerabatnya dikejutkan dengan berita mengenai perceraian antara Jen dan Ben, yang telah memasuki proses akhir. 18 tahun pernikahan terasa tidak memiliki arti apapun jika hal ini terjadi.
Alasan perceraian pun diketahui, bahwa Jen mengatakan suami tidak mencintainya lagi. Sebab selama ini, suaminya hanya berkata I love you, honey…Namun tidak ada kado atau kejutan manis dari suaminya.
Ben pun memiliki alasan yang sama, bahwa istrinya tidak mencintainya lagi, sebab ia tidak pernah mendengar istrinya mengatakan I love you. Suaminya menyatakan bahwa ia lebih memerlukan pernyataan bahwa istrinya mencintainya, daripada semua pelayanan yang dilakukan oleh istrinya, tiap hari.

Mereka berdua adalah sepasang suami istri yang hebat dan penuh cinta, namun semuanya menjadi berantakan ketika mereka tidak memiliki bahasa cinta yang sama. Semuanya ini tidak perlu terjadi jika Jen dan Ben memiliki komunikasi yang baik, apalagi mereka adalah orang yang terdekat bagi satu sama lain. Tahukah kamu betapa pentingnya komunikasi? Pada saat kita berkomunikasi dengan orang lain, saat itu kita sedang menjalin relasi untuk mengerti org yang terdekat dengan kita.

Demikian juga sewaktu kita mengadakan saat teduh, dimana saat itu kita melakukan komunikasi dengan Tuhan melalui membaca dan mendengar firman Tuhan, sehingga kita diajak untuk makin mengerti dan mengenal pribadi  dan kehendak Tuhan.




Sumber: Ibadah Minggu, 24 Januari 2016, GKI Serpong, oleh Pdt. Daniel Budiman