Rengekan Putriku

Viewed : 36 views

Tidak mudah sama sekali untuk saya menahan rasa kesal ketika melihat anak merengek-rengek meminta sesuatu dengan menangis. Kejadian dimulai ketika kami hendak membeli sepatu untuk suami dan anak-anak di Payless. Sudah lama memang kami hendak membeli sepatu tapi dana dan waktu tersedia baru belakangan ini.

Sebelum berangkat saya sudah memberitahukan pada anakku, “memilih sepatu boleh, tapi jika mami katakan tidak harus menurut ya.” Dan anakku mengiyakan. Maka berangkatlah kami ke Lottemart Bintaro, menuju ke toko sepatu Payless disana.

Setelah melihat dan menimbang, anakku yang perempuan memilih 2 buah sepatu, untuk sekolah dan jalan-jalan. Dan anakku yang lelaki memilih sepatu sandal. Ada promo yang menarik jika menggunakan kartu kredit BCA dengan belanja minimal 300.000 rupiah dapat memperoleh diskon 15%. Kami sudah semangat untuk membeli, tapi sangat disayangkan kartu kredit suamiku ternyata tidak dapat diproses karena, mungkin karena kondisi chip card nya yang agak kotor. Biasanya hanya perlu digosok-gosok akan bisa transaksi, tapi hari itu berbeda.

Diputuskan hanya membeli sepatu yang promo saja, yaitu sepatu sekolah anakku. Sepatu yang lainnya dapat menyusul kemudian.

Anakku menanyakan sepatunya setibanya di parkiran mobil, anakku yang lelaki dapat menerima dengan baik penjelasan saya, tapi yang perempuan ini…merengek minta ke Payless lainnya.




Oke deh,..kami setuju ke Payless di Alam Sutera, padahal saat itu saya dan suami sudah merasa lelah.

Setibanya disana suasana mall Living World sangat ramai di hari Minggu, juga di toko Payless. Anakku langsung berlari ke bagian sepatu itu, tapi tidak menemukannya, maka dimulailah kejadian yang sangat menyebalkan dan memalukan itu.

Anakku menangis tersedu-sedu dan berlinangan air mata, awalnya saya dengan sabar memberikan penjelasan, tapi tangisannya bertambah keras sekali, sampai akhirnya saya menjadi kesal dan melotot ke arahnya. Dia kemudian berganti menangis ke pada papinya, yang menurut papi sampai bersimpuh berlinangan air mata dan menangis keras sekali, padahal saat itu ayahnya sedang memilih sepatu juga dan kondisi toko sangat ramai.

Kembali lagi pada saya dengan muka sembab dan bertelanjang kaki. putri saya mengatakan, “Aku ndak mau lagi pake sandal ini.”

“Ya sudah, silahkan telanjang kaki jika tidak malu,” timpalku
Putriku makin cemberut dengan ketus ia berujar, ” aku mau sepatu yang itu juga tidak apa.” Sepatu yang dimaksudkan adalah sepatu size lebih besar 1 nomor dari yang diinginkannya dengan warna yang berbeda juga.

Maka dengan kesal saya tarik anakku keluar dan saya berikan nasihat disitu, “kalau berbelanja harus pakai otak, jangan berbelanja hanya karena nafsu ingin sesuatu yang baru.”




“Mencari uang sudah sulit, kita harus bijaksana dalam berbelanja.”

“Mami tanya sekali lagi, memangnya mengapa kamu mau beli sepatu yang kebesaran seperti itu? Memangnya ada acara khusus yang harus kamu hadiri dengan sepatu itu?” saya bertanya dengan tegas dengan menyadari bahwa banyak mata memperhatikan kami.

Putriku mulai menangis kembali dengan sedihnya, orang-orang menatap tajam ke arahku seakan-akan saya ibu yang galak terhadap anak.

Suamiku yang baru selesai dari toilet dengan putraku menghampiri kami dan menasehati putri kami, tapi dia kembali menangis lagi.

Ah putriku…kamu sudah membuat malu. “Mami malu! Mami kecewa dan marah dengan Mariel!”

“Jika kamu hanya ingin membeli sepatu baru karena suka yang sesuatu yang baru atau karena ingin pamer, mami tidak setuju! Lebih baik kamu tidak usah membeli sepatu sama sekali! Kamu dihukum! Tidak usah ikut mami, papi dan ade jika kami hendak jalan-jalan. Kamu sudah membuat malu kami!” kataku sambil menepaknya dengan tissue yang aku pegang.

Kami memutuskan untuk pulang dan putriku terus tersedu-sedu dan menangis, ia berkata, “mami, maafin aku ya.”

“Mami, mami…tidak dengar ya, maafkan kakak. Mami tidak mau maafkan kakak ya?” ujarnya sambil terus mengejar langkahku yang cepat sambil melewati sela-sela lorong di Ace Hardware.




Ku hentikan langkahku sambil menarik nafas panjang aku katakan, ” Ya, mami maafkan Mariel, sudahlah kita sekarang pulang, dan hukuman untuk kamu tetap berjalan.”

Setibanya di mobil, suamiku menasehati anakku kembali dan menjelaskan betapa malunya kami atas perilaku putri kami dan pandangan mata orang-orang tadi di mall. Dia mengingatkan tentang janjinya sebelum berangkat untuk menurut jika kami menolak untuk membelikan sepatu pilihannya.

Putriku kelihatan mulai menyadari kesalahannya dan ia menerima hukuman yang telah kami jatuhkan padanya, tidak ada jalan-jalan selama liburan, tidak boleh bermain iPad.

Tidak mudah memang untuk menjadi orang tua. Kagum aku dengan ibuku sendiri yang memiliki lima anak yang terpaut sangat dekat dahulu, pastilah hal-hal ini menjadi santapannya tiap hari.